Oleh : Nurdin (Dosen IAIN Palopo)
Viral di sosial media, Intel Kodam XIV Hasanuddin menangkap pelaku sobis atau passobis (kata media), tetapi bahasa hukum yang benar adalah diduga sebagai pelaku tindak pidana penipuan yang oleh masyarakat Sulsel diistilahkan Passobis.
Tidak tanggung-tanggung 40 orang sekaligus, satu mobil truck dinas TNI. Tentu kita mengapresiasi atas penangkapan itu. Luar biasa. Namun, dari sisi hukum pidana formil akan timbul persoalan hukum, timbul pertanyaan bukan satu, tapi banyak pertanyaan.
Apakah mereka itu ditangkap karena tertangkap tangan? Sebagaimana penjelasan pasal 1 angka (19) KUHAP? Kalau tertangkap tangan, clear persoalannya. Kata kawan saya, setelah berdiskusi dengannya, “Saya jadi penyidik kurang lebih 30 tahun belum pernah menemukan pelaku penipuan yang tertangkap tangan”. Artinya apa, dia ingin mengatakan bahwa “Begitu rumitnya, penipuan mesti didahului dengan penyelidikan yang maksimal.
Ada surat perintahnya, surat tugas dan surat perintah penyelidikan. Penipuan memiliki tingkat kesukaran yang tidak sama dengan memukul orang”. Surat-surat yang saya sebut itu, ada dasar pembuatannya.
Disebut Laporan Polisi (LP). Ada orang atau masyarakat yang melaporkan. Ada yang dirugikan kemudian melapor ke polisi. Kalau tidak ada, bisa-bisa kita melakukan tindakan hukum yang sewenang-wenang dan sebagai negara hukum, negara demokrasi, telah melanggar due process of law.
Due process of law, sederhananya, kita menegakkan hukum dengan tidak melanggar hukum. Dalam doktrin hukum pidana yang namanya penyelidikan, tidak dibenarkan melakukan penangkapan sebab menangkap orang berada pada ranah penyidikan.
Penipuan, apalagi melalui sosial media, online atau sobis. Itu melalui serangkaian tindakan penyelidikan yang cukup memakan waktu. Berbeda bila penipunya, face to face dengan korbannya, ada saksinya, ada alat bukti lainnya.
Anggaplah misalnya, yang ditangkap 40 orang itu tidak ada korbannya, tidak ada yang melapor dirugikan. Bagaimana? Saya pastikan mereka itu akan dilepaskan, karena tidak ada dasar hukumnya. Apalagi jika mereka itu telah ditangkap lebih dari 1X24 jam.
Mereka bisa mengajukan praperadilan. Jika hal itu terjadi, yang bertanggung jawab, siapa?. Atau anggaplah ada yang melapor telah ditipu atau disobis, belum tentu juga di antara mereka itu ada pelakunya.
Mungkin ada pelaku yang ke 41 yang tidak termasuk dalam 40 orang itu. Semua itu melalui serangkaian tindakan penyelidikan yang optimal.
Selalu saya bilang pada mahasiswa saya semester 1, “Kalau ada orang teriak di kampus atau di depan kantor polisi, saya penipu” Itu tidak serta merta ditangkap lalu dijebloskan ke dalam sel sebab dengan teriakan itu, tidak cukup membuktikan kesalahannya.
Intinya, bahwa penipuan melalui sosial media, selalu didahului dengan penyelidikan yang matang dan salah satu dasarnya, ada laporan warga. Menangkap orang, ranahnya penyidikan bukan penyelidikan. Tidak dibenarkan oleh hukum, tangkap dulu baru cari korbannya. Yang saya sebut terakhir ini kalau bisa, saya mesti belajar lebih tekun lagi.
Negara ini, negara hukum bukan negara kekuasaan, itu kata konstitusi (vide pasal 1 ayat 3). Ini menjelaskan, bahwa seluruh aparat tidak terkecuali aparat penegak hukum, mesti bertindak sesuai dengan hukum. Negara melalui aparatnya, tidak boleh bertindak di luar hukum.
Hukum diciptakan agar seluruh warga negara tunduk pada peraturan, aparat negara tidak boleh sewenang-wenang terhadap warga negaranya. Semua tindakannya berdasarkan hukum, bukan didasarkan pada kemauan perorangan apalagi karena benci. (*)