AJATAPPARENG.ONLINE, SIDRAP —
Pinjam Rp 10 juta ke seorang diduga rentenir, utang Risnatiawaty, telah membengkak jadi Rp 131 juta.
Kini, kisah Risna gaduh. Kisahnya yang terjerat utang ke rentenir, seolah menjadi potret sosial yang dialami lapisan terbawah masyarakat.
Risna adalah anak dari Abd Azis (63), seorang pemulung renta yang harus menyusuri lorong-lorong sempit, menenteng karung dan gerobak lusuh berisi rongsokan plastik, kardus, dan logam bekas.
Dari hasil memulung itu, Azis hanya membawa pulang uang Rp30 ribu hingga Rp50 ribu. Jumlah yang tidak cukup, bahkan untuk kebutuhan makan satu keluarga kecil dalam sehari.
Sementara Risna sendiri, seorang janda muda yang ditinggalkan suaminya setahun lalu karena tidak tahan dengan tekanan utang yang terus membengkak.
Ia harus bekerja di warung makan kecil dengan upah Rp20 ribu per hari. Tak ada jaminan harian. Tak ada hari libur, dengan beban anak empat orang harus dipenuhi kebutuhan sehari-harinya.
“Saya cuma mau anak saya makan, bisa sekolah. Tapi uang dari mana?” lirihnya, sambil menatap lantai rumah kontrakan yang sempit dan pengap.
Titik awal kejatuhan Risna dimulai pada Mei 2024, ketika ia terpaksa meminjam uang Rp10 juta dari seorang yang diduga rentenir.
Bukan untuk foya-foya, tapi untuk menambal biaya hidup dan kebutuhan sekolah anaknya yang masih kecil.
Namun dari pinjaman itu, ia hanya menerima Rp8 juta setelah dipotong “biaya administrasi”. Yang dikembalikan? Tak main-main: bunga menggulung hingga kini, setahun kemudian, utang itu membengkak menjadi Rp131 juta.
“Setiap minggu mereka datang menagih dengan preman sambil bawa parang. Kalau telat, mereka teriak-teriak di depan rumah. Anak saya sampai takut keluar,” ucap Risna, menahan tangis.
Rentetan tekanan itu bukan hanya menyiksa ekonomi, tapi juga mental. Suaminya memilih pergi. Lari dari masalah.
Tinggallah Risna dengan empat buah anaknya dari hasil perkawinan suaminya. Kehidupan kini ditanggung juga oleh ayahnya yang sudah lanjut usia menanggung semua beban. Tak ada keluarga yang bisa membantu. Tak ada lembaga yang turun tangan.
Risna tetap berdiri. Meski tertatih. Ia tak menyerah. Setiap pagi ia tetap bangun lebih awal, menyiapkan sarapan seadanya untuk anaknya sebelum berangkat kerja.
Sepulangnya dari warung makan, ia membantu ayahnya memilah dan menjual rongsokan.
Ia tahu, mustahil bisa membayar utangnya dalam semalam. Tapi harapan, katanya, adalah satu-satunya hal yang belum dirampas.
“Saya tidak ingin anak saya bernasib seperti saya,” ucapnya.“Saya ingin dia sekolah. Bisa kerja yang layak. Tidak hidup dari sisa-sisa.”
Kisah Risna bukan sekadar narasi sedih. Ia adalah cermin buram dari struktur ekonomi yang timpang. Ia adalah panggilan moral bagi semua pihak — pemerintah, lembaga keuangan, dan masyarakat — untuk hadir, bukan hanya melihat.
“Kami tidak butuh dikasihani. Kami hanya ingin diberi jalan. Diberi kesempatan untuk bangkit,” tandasnya.
Rahmi Asmir, seorang aktivis sosial yang fokus pada isu kemiskinan di Sidrap, menyebut kasus Risna sebagai “puncak gunung es”. Menurutnya, praktik rentenir ibarat perbudakan modern yang tumbuh subur di daerah-daerah yang minim akses keuangan formal.
“Rentenir memanfaatkan ruang kosong yang seharusnya diisi negara. Ketika bank tidak bisa dijangkau oleh masyarakat kecil, maka lintah darat masuk,” kata Rahmi geram.“Ini bentuk kekerasan ekonomi yang disahkan oleh diamnya sistem.”
Ia menyebut pemerintah daerah seharusnya hadir dengan solusi nyata seperti menghadirkan koperasi rakyat yang benar-benar ramah terhadap kelompok rentan, program pelatihan literasi keuangan, dan akses pinjaman bergulir tanpa bunga tinggi.
“Kalau tidak ada intervensi sistemik, maka akan selalu ada ‘Risna-Risna’ lain yang jatuh korban,” tutup Rasmi. (*/sp)