AJATAPPARENG.ONLINE, SIDRAP – Aktivitas tambang galian C yang marak di Kecamatan Watang Pulu, Kabupaten Sidenreng Rappang (Sidrap), mendapat sorotan tajam dari berbagai elemen masyarakat.
Sejumlah bukit dan gunung dilaporkan mengalami kerusakan parah akibat aktivitas tambang yang diduga dilakukan tanpa Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) dan izin resmi.
Tak hanya menyebabkan kerusakan lingkungan, keberadaan tambang juga berdampak buruk pada infrastruktur. Truk-truk berat pengangkut material tambang memperparah kondisi jalan umum yang dibangun pemerintah untuk kepentingan masyarakat. Sejumlah ruas jalan kini mengalami kerusakan serius akibat lalu lintas kendaraan tambang yang intens.
Aktivis Forum Peduli Masyarakat (FPM) Sidrap, Ahlan, mendesak pemerintah daerah dan aparat penegak hukum untuk segera meninjau ulang izin-izin tambang yang beroperasi.
“Kami minta pihak terkait segera mengevaluasi izin tambang yang merusak lingkungan. Jangan tunggu sampai kerusakan semakin parah,” tegas Ahlan.
Keluhan juga datang dari warga Kelurahan Arawa yang enggan disebutkan namanya. Ia mengkhawatirkan dampak jangka panjang seperti banjir dan longsor jika penambangan tanpa izin terus dibiarkan.
“Jika tambang-tambang ini tidak punya izin dan merusak lingkungan, sudah seharusnya ditindak. Jangan sampai masyarakat sekitar jadi korban banjir dan longsor,” ujarnya.
Berdasarkan pantauan media ini pada Rabu (30/7/2025), aktivitas tambang masih berlangsung di sejumlah titik. Di antaranya:
Kelurahan Arawa, tepatnya di pinggir jalan dua arah SKPD, tidak jauh dari Rumah Makan Gasebo, Kelurahan Bangkai, di sepanjang jalan menuju Pasar Lawawoi, Kelurahan Lawawoi, tampak satu unit ekskavator masih standby di lokasi tambang.
Masyarakat menyoroti potensi pelanggaran terhadap Pasal 158 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang perubahan atas UU No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara.
Pasal tersebut menegaskan bahwa aktivitas pertambangan tanpa Izin Usaha Pertambangan (IUP) dapat dikenai sanksi administratif, tambahan, hingga pidana.
Sanksi pidana mencakup hukuman penjara hingga 5 tahun dan denda maksimal Rp100 miliar. Sementara sanksi administratif termasuk pencabutan izin, penghentian kegiatan, hingga kewajiban reklamasi lahan bekas tambang.
Warga berharap pemerintah daerah, Dinas Lingkungan Hidup, serta aparat penegak hukum bertindak tegas dan tidak membiarkan kerusakan lingkungan terus berlanjut tanpa penanganan. (asp)