SETELAH berkonflik salama setengah abad dengan VOC, Kerajaan Gowa-Tallo akhirnya menandatangani Perjanjian Bongaya pada 18 November 1667. Perjanjian ini menandai awal kekuasaan penuh Kompeni di bagian timur Nusantara. Banyak orang, termasuk para ksatria dan bangsawan, memilih pergi daripada hidup di bawah kekuasaan penjajah. Mereka tersebar ke berbagai daerah Nusantara. Salah satunya Lamakasa, nama singkatnya Lakasa, dari suku Bugis. Bagi orang Bugis, kata “La” biasanya ditambahkan di depan nama seorang anak laki-laki.
Lamakasa dan kawan-kawan meninggalkan kampung halamannya dengan kapal layar yang memuat perbekalan dan dilengkapi persenjataan. Mereka mendarat di Sulawesi bagian utara. Pada masa itu, daerah Gorontalo sering diganggu bajak laut dari Mangginano atau orang-orang Mindano yang merampok dan membunuh penduduk yang tinggal di pesisir pantai.
Para ksatria itu mengadakan perjanjian dengan Raja Gorontalo untuk mengusir bajak laut itu dari pesisir pantai Gorontalo. Mereka berhasil mengusir para perampok itu. Raja senang dan mengizinkan mereka tinggal di sekitar pelabuhan Gorontalo dan sampai sekarang daerah itu masih disebut Kampung Bugis atau Kelurahan Bugis.
“Lamakasa menikahi seorang gadis Gorontalo yang bernama Hawaria. Dari perkawinan mereka lahir seorang putri dan empat orang putra. Salah seorang di antaranya adalah lelaki yang diberi nama Habibie,” tulis A. Makmur Makka dalam The True life of Habibie: Cerita di Balik Kesuksesan.
Habibie menikahi Layiyo. Lahirlah Abdul Jalil Habibie sebagai anak kedua dari tujuh bersaudara. Abdul Jalil Habibie kemudian menjadi haji dan pemimpin umat Islam di daerah Kabila dan sekitarnya, sekaligus pemangku adat dan anggota Majelis Peradilan Agama. Dia juga orang kaya yang memiliki sawah, perkebunan kelapa, dan ranch atau peternakan sapi dan kuda di Kampung Batudaa, sekitar 11 km dari Gorontalo.